Pendidikan

PUDARNYA ‘IDEALISME’ GURU

(Refleksi Autokritik Hari Guru Nasional)

Tidak perlu ditolak bahwa guru adalah ‘kreator beragam profesi”. Untuk itu, guru sebenarnya tidak bisa diperlakukan setara dengan bidang profesi yang lain. Profesionalismenya tidak bisa direduksi pada bidang kuantifikasi-matematis, dalam perkara kompetensi teknis-administrasi semata. Guru adalah ‘pembawa cahaya etis’ untuk semua jenis profesi. Karena itu, kita tidak bisa mengukur kualitas guru pada ‘kecakapan membereskan administrasi’ dan keterampilan mentransmisi ilmu kepada siswa saja, tetapi pada ‘pancaran kepribadian dan totalitas pemberian dirinya’ untuk perkembangan anak didik par excellence. Saya kira, menjadi guru itu, lebih dari sekadar profesi. Guru adalah sebuah panggilan, undangan etis untuk merawat peradaban dan melahirkan manusia yang beradab. Kesuksean seorang guru tidak dilihat dari berapa ‘honor’ atau profit materialnya, tetapi pada ‘kerelaan dan pengorbanan’ untuk ada bersama dan menjadi ‘obor penerang’ bagi jalan yang dilalui para siswa. Namun, di tengah ketatnya ‘tuntutan profesionalisme’, secara perlahan ‘roh idealisme guru’, mulai memudar. Tugas dan peran guru dipersempit hanya sebatas pemenuhan segala persyaratan profesionalisme belaka. Guru dipaksa untuk ‘memenuhi’ persyaratan formal-profesional, tanpa memperhatikan panggilan sucinya sebagai ‘pembawa cahaya etis’. Perkembangan teknologi digital yang membawa dampak ‘disruptif’ pada segala lini kehidupan, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Mereka kembali diuji dan ditantang untuk menguasai ‘seluk-beluk’ kultur digital, termasuk menerapkan pembelajaran yang berbasis budaya digital itu. Beban profesionalisme dan tuntutan kompetensi itu, jelas berpotensi menggerus apa yang menjadi ‘fungsi pokok’ keberadaan seorang guru bagi siswa. Menteri Pendidikan Nasional yang baru, Nadien A. Makarin, rupanya menyadari ‘factum penyanderaan guru’ oleh beban teknis-administrasi itu. Hal ini terungkap jelas dalam teks pidatonya untuk merayakan peringatan Hari Guru Nasional (HGN). Beliau ingin membebaskan guru dari ‘penjara administrasi’ dengan memberi ruang kepada guru untuk berkreasi dan berinovasi dalam mendesain pembelajaran di sekolah. Sang Mentri mengajak agar para guru ‘mulai mengambil langka perubahan’ ketika berada dalam kelas. Perubahan itu harus diinisiasi oleh para guru sendiri. Negara menyadari bahwa ‘guru mesti diberi ruang yang lebar’ untuk menerapkan proses pembelaran yang tidak semata-mata ‘berorientasi pada pemenuhan konten kurikulum nasional, tetapi proses pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan peserta didik. HGN menjadi momentum strategis bagi kita untuk menghidupkan kembali ‘roh idealisme guru’ seiring derasnya intervensi negara dalam bidang pendidikan. Kita tidak boleh terjebak pada euforia seremonial yang bersifat massal dan temporal dalam memaknai HGN ini. Hari guru mesti dimaknai sebagai kesempatan untuk ‘evaluasi dan kritik diri’ agar kita tidak lagi terpenjara dalam rutinitas prosedural dan regulasi teknis administrasi. Satu hal yang perlu mendapat atensi serius adalah menguatnya virus materialisme tersebab oleh tuntutan profesionalisme yang ketat. Efeknya adalah para guru mengikuti sejumlah pendidikan dan pelatihan profesional hanya untuk ‘menambah penghasilan’. Buktinya adalah mutu pembelajaran dan output pendidikan kita, tetap melorot. Akhirnya, saya mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional’. Jadilah ‘guru sejati’, guru yang membaktikan hidupnya untuk ‘kebaikan siswa’ semata-mata. Kita sedang mencari sosok guru hebat, bukan guru yang biasa-biasa saja.”

Penulis Silvester JoniT Tokoh Manggarai Barat

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker