Hukum

MEMBONGKAR ‘MODUS PUNGLI’

(Catatan Kritis Kebijakan Pengiriman Berkas Melalui PT Pos Indonesia)

Oleh

Silvester Joni

Untuk pertama kalinya, pihak Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Manggarai Barat (Mabar) menerapkan kebijakan ‘membingungkan’ dalam hal pengiriman berkas dokumen para peserta seleksi tes CPNS. Seperti yang dilansir oleh media daring labuanbajonews.com (20/11/2019) bahwa BKD akan bekerja sama dengan PT Pos Indonesia Cabang Labuan Bajo untuk pengiriman semua berkas tersebut menuju kantor BKD Mabar. Itu berarti para staf BKD hanya berpangku tangan, menunggu ‘berkas kiriman final’ yang dihantar oleh petugas Pos ke sekretariat BKD.

Ada beberapa argumentasi yang melatari kerja sama itu. Pertama, menurut kepala BKD, Sebastianus Wantung pengiriman lewat PT Pos itu bertujuan agar pengiriman berkas dari mereka yang ‘di luar daerah’ bisa berlangsung seragam. Kedua, BKD Mabar, demikian Dionisius Katra, staf Verifikator BKD, tidak mempunyai loket dan ruangan representatif untuk menampung berkas dokumen para peserta.

Ketiga, menurut Manager PT Pos Indonesia Cabang Labuan Bajo, Ian Laksono Dewantoro, kerja sama itu dimaksudkan untuk mempermudah proses pengiriman dan tidak mengganggu alur ritme kerja.

Kebijakan itu, kendati dibungkus dengan motivasi mulia, menuai kontroversi. Perdebatan muncul ketika tidak ada ‘keseragaman jawaban’ perihal biaya jasa pengiriman lewat PT Pos itu. Kepala BKD menegaskan bahwa pengiriman itu bebas biaya (gratis). Tidak ada pembicaraan terkait biaya dalam kerja sama itu. Bahkan Sebastianus menilai proses pengiriman itu murni inisiatif dan tawaran dari PT Pos Indonesia.

Sementara itu, manager PT Pos berdalih bahwa soal biaya pengiriman itu, berdasarkan kesepakatan dengan pihak BKD. Untuk diketahui biaya jasa pengiriman itu sebesar 26.000. Artinya, pemungutan terhadap peserta tes merupakan ‘hasil kesepakatan’ dalam kerja sama antara PT Pos Indonesia dengan BKD Mabar.

Dari alur dan isi berita di atas, saya kira ‘kerja sama’ antara BKD dan PT Pos, patut diduga sebagai semacam modus pungutan liar (pungli). Beberapa indikasi berikut, setidaknya bisa dijadikan justifikasi terhadap dugaan itu.

Pertama, tidak ada ‘aturan khusus’ yang berlaku secara nasional tentang ‘pengiriman berkas dokumen peserta tes CPNS, melaui PT Pos Indonesia. Itu berarti pihak BKD dan PT Pos Indonesia merancang ‘kebijakan’ di mana peserta dipaksa untuk ke kantor Pos dan ‘membayar’ jasa pengiriman berkas tersebut.

Kedua, sampai detik ini, belum ada penjelasan yang transparan dan rasional soal ‘pemanfaatan uang itu’. Saya kira, bukan soal angka 26.000, tetapi proses untuk mendapatkan uang itu, mesti dibuat secara fair. Kita coba buat kalkulasi sederhana. Andaikan jumlah peserta tes sebanyak 4000, maka Pihak PT Pos meraup untung sebesar Rp 104.000.000. Sebuah angka yang fantastis.

Ketiga, apakah ‘masuk akal’ kita membayar Rp 26.000 kepada PT Pos yang jarak pengirimannya tidak sampai 2 km? Apakah BKD Mabar ‘kekurangan staf’ untuk menerima dan memverifikasi berkas dokumen dari para peserta sehingga harus ‘bekerja sama’ dengan instansi lain?

Keempat, mari kita bongkar ‘kedok’ berupa alasan yang melatari kerja sama itu. Alasan keseragaman pengiriman yang disampaikan kepala BKD, pertanyaannya adalah apakah kantor BKD dibuka satu hari saja sehingga pengiriman itu berlangsung serempak? Saya kira, tes CPNS itu, mesti melewati tahapan-tahapan yang tidak bisa dibuat dalam sehari.

Soal ‘loket dan ruang yang tidak representatif’ seperti yang disampaikan Dionisius Katra, verifikator BKD, pertanyaannya adalah ‘apakah semua berkas dokumen’ yang dikirim via Pos itu, tidak mendarat di kantor BKD? Logisnya, BKD ‘mengontrak ruang baru yang lebih luas’ untuk menampung berkas tersebut. Tetapi, faktanya pihak BKD tetap menggunakan ‘ruang yang tersedia’ di kantor itu. Itu berarti alasan ‘kapasitas ruangan’ itu, sulit dicerna nalar sehat. Itu sebuah alasan konyol dan dibuat-buat.




Terkait alasan ‘mengganggu alur ritme kerja’, seperti yang diungkapkan manager PT Pos, pertanyaannya adalah apakah penerimaan dan verifikasi berkas dokumen peserta tes CPNS, bukan menjadi salah satu agenda dan tanggung jawab BKD? Alur ritme kerja siapa yang terganngu ketika berkas itu langsung diserahkan ke kantor BKD? Saya justru menilai bahwa ‘alur kerja PT Pos yang terganggu sebab pengiriman dan verikasi berkas bukan bagian dari tupoksi PT Pos Indonesia.

Kelima, kerja sama itu, hemat saya justru memperlihatkan ‘mental cari gampang’ yang menghinggapi tubuh birokrasi itu. BKD Mabar sepertinya ‘mau menghindar dari tanggung jawab’ dan menyerahkan sebagian bebannya kepada PT Pos Indonesia. Sialnya, para peserta tes menjadi ‘tumbal atau korban’ dari sikap cari gampang semacam itu. Para peserta terpaksa harus berduyun-duyun ke kantor Pos dan mengeluarkan ongkos secukupnya untuk sesuatu yang bisa dibuat secara mudah di kantor BKD Mabar. Selain ongkos kirim, peserta juga harus ‘bayar transpor’ yang jika diakumulasikan, tentu angkanya sangat fantastis.

Keenam, kita patut bertanya lembaga apa yang semestinya ‘bertindak sebagai pelayan publik’ di saat musim tes CPNS dibuka? Jika BKD diberi ‘mandat untuk mengatur seleksi administrasi peserta’, maka sungguh patut disayangkan para Staf BKD Mabar mesti minta bantuan PT Pos dalam mengirim berkas administrasi tersebut. Sebuah ‘pelanggaran kode etik profesi’ yang serius.



Ketuju, saya kira dengan tidak adanya kesamaan jawaban antara BKD dan PT Pos soal ‘biaya jasa pengiriman’, semakin memperkuat kesimpulan bahwa “ada yang tidak beres” dalam kebijakan itu.

Karena itu, publik perlu mencurigai ‘motif’ di balik ‘kerja sama sesaat itu’. Para peserta mesti berani ‘membongkar’ indikasi ‘ketidakberesan’ dalam kebijakan itu. Pihak BKD dan PT Pos Indonesi ‘mesti merevisi’ kebijakan itu dan bertanggung jawab jika kesepakatan soal biaya itu, masuk dalam kategori pungli.

Penulis Silvester Joni

Tokoh Pemuda Manggarai Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker