Mabar Mencari Bupati ‘Penakluk Tantangan Politik’

Penulis Sil Joni Pemerhati masalah sosial dan politik
Sebetulnya, menjadi bupati itu bukan sekadar ‘penambah daftar pekerjaan politik’ dalam catatan sejarah pribadi, tetapi mengubah dan kalau dapat menciptakan sejarah politik lokal yang lebih spektakuler dan prestisius. Sejarah politik yang ditorehkan itu terekam dalam pelbagai prestasi kerja politis yang tervalidasi dan terverifikasi secara empiris. Dengan kata lain, publik mengenang dan mengahargai debut dan kiprah seorang kepala daerah, jika dan hanya jika dirinya suskses memperbaiki atau mengubah kondisi politik konkret yang sebelumnya berjalan stagnan dan datar-datar saja.
Seorang kandidat kepala daerah mesti memiliki sensitivitas dan kecakapan dalam mendiagnosa ‘pelbagai kondisi patologi politik’ yang sekian lama mendera mayoritas publik yang dipimpinnya. Dengan itu, ia datang ke panggung politik membawa serta hasil diagnosa serta ‘resep politik yang jitu’ untuk mengobati (baca: mengatasi) aneka penyakit politik tersebut. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi momen adu kontestasi gagasan sekaligus uji konsistensi dalam menyembuhkan luka-luka politik yang semakin kronis di daerah tersebut.
Saya kira, jika konsep seperti ini dikemas secara apik oleh setiap kontestan dalam pesta Pilkada, maka sang ‘juara’ kemungkinan mendesain program dan kebijakan politik yang berbasis konteks dan kebutuhan konkret publik. Sejuta ide politik brilian sudah ‘terpatri dalam benaknya’ untuk memperbaiki mutu kehidupan publik, sebelum kursi kekuasaan digenggam. Ketika tiket legitimasi politik itu dikantongi, maka sang bupati tinggal ‘mengolah secara kreatif dan elaboratif pelbagai data mentah’ hasil pembacaan akurat atas pelbagai potensi, keunggunlan, peluang dan tantangan yang ada di sebuah daerah untuk menyusun program dan kebijakan yang terukur dan tepat sasaran.
Membaca dan Menganalisis Konteks: Kasus Manggarai Barat
Kita berharap agar para kandidat yang maju dalam perebutan kekuasaan politik pada kontestasi politik Pilkada Mabar tahun 2020 ini, sudah membuat semacam ‘riset akurat’ terkait dengan potensi unggulan dan masalah politik yang paling prioritas untuk diatasi ketika terpilih menjadi bupati Mabar. Sudah seharusnya seorang calon kepala daerah ‘mengenal secara utuh’ kontur wilayah dan model pembangunan yang mesti ditawarkan di setiap Kecamatan yang ada di Kabupaten ini.
Selain itu, para calon bupati dan wakil bupati tersebut telah mengikuti dan merasakan secara langsung pelbagai dinamika politik yang terjadi, tidak hanya di kota Labuan Bajo tetapi juga di semua Desa di Mabar ini. Rasanya aneh jika ada calon bupati yang yang tidak tahu dan tidak merasakan penderitaan yang dialami oleh warga Mabar saat ini.
Tanpa mengurangi penghargaan dan respek kita terhadap para kandidat bupati itu, kita perlu mendiskusikan secara serius aneka tantangan yang kemungkinan dihadapi oleh seorang kepala daerah Mabar pada periode 5 tahun yang akan datang. Tentu, bisa saja bobot dan jenis tantangan itu berubah seturut gerak perubahan sosial yang terjadi saat itu. Tetapi, saya kira tipologi tantangan yang dihadapi seorang kepala daerah Mabar masih relatif sama. Mengapa? Persoalannya adalah pelbagai isu politik elementer belum ditangani secara optimal oleh pemimpin sebelumnya.
Pertama, mengoptimalisasi sektor pariwisata sebagai bidang yang ikut menggerakan sektor lain seperti pertanian, perikanan, kelautaan, budaya, dan ekologi. Kepala daerah Mabar mesti mempunyai semacam ‘blur-print’ yang jelas dalam menata sektor pariwisata yang berbasis keterlibatan publik dan keutuhan alam ciptaan. Dengan kata lain, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan selaras alam (ekoturisme).
Kedua, masih berkaitan dengan poin pertama ini, seorang bupati Mabar lima tahun ke depan, harus memiliki komitmen keberpihakan kepada perbaikan kesejahteraan publik. Itu berarti bupati tidak boleh tunduk pada ‘sekenario investasi bisnis pariwisata pemerintah pusat dan para investor nasional dan global. Karena itu, bupati mesti merancang kebijakan memberdayakan sumber daya manusia lokal untuk bisa berpartisipasi dan menjadi pemain utama dalam industri turisme, bukan sekadar ‘kuli’ dari para kapitalis dan elit pemerintah pusat.
Ketiga, kepala daerah Mabar pada periode berikut nanti, mesti memiliki visi dan desain program pembangunan yang terukur untuk wilayah perdesaan. Pelaksanaan pelbagai proyek kesejahteraan publik itu, tidak boleh terkonsentrasi di Labuan Bajo dan sekitarnya. Manggarai Barat itu tidak hanya Labuan Bajo. Kemajuan kabupaten ini tidak ditakar dari kesemarakan aktivitas pariwisata super premium di Labuan Bajo, tetapi sejauh mana masyarakat di pinggiran dan pedalaman sudah tersentuh dengan roda pembangunan politik yang efektif dan efisien.
Keempat, perbaikan ‘tata-kelola’ pemerintahan yang baik dan bersih. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam mengurus kebaikan publik harus diterapkan secara konsisten. Warisan politik kuno berupa unsur ‘balas jasa’ dan kedekatan primordial yang menjadi sumber aksi korupsi, kolusi, dan nepotisme harus ditanggalkan.
Kelima, tantangan yang paling konkret saya kira adalah mengatasi problem sosial-politik yang sudah klasik di kota Labuan Bajo seperti isu kelangkaan air minum bersih, isu sampah, persoalan ternak yang berkeliaran, dan penataan kota yang amburadul. Beberapa isu negatif itu mesti menjadi agenda prioritas pasca memenangkan kontestasi politik Pilkada.
Keenam, tantangan lain, saya kira tentu saja datang dari dalam diri sang kepala daerah itu sendiri (internal). Apakah bupati terpilih itu nanti bisa mengontrol godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan demi melayani kepentingan diri, keluarga, kerabat, kontraktor, investor, dan partai politik. Jangan sampai sang bupati lebih terpikat untuk mengabdi kepada para kapitalis bersama elit politik, ketimbang rakyat yang memberikan mandat politik itu kepadanya.
Ketuju, Mabar ini, dilihat dari semua sisi, semuanya masuk kategori terbelakang. Label destinasi wisata super premium tidak serta merta ‘menghapus’ pelbagai realitas politik negatif seperti kemiskinan, pengangguran, mutu pendidikan yang rendah, pelayanan kesehatan yang kurang optimal, masalah infrastruktur, keterisolasian, dll. Untuk itu, bupati terpilih itu nanti ditantang untuk sesegera mungkin mengatasi atau minimal mengurangi skala dan volume persoalan itu.
Kedelapan, Mabar hadir dalam pentas sejarah politik yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, Kabupaten ini dikenal luas sebagai daerah yang memiliki sumber daya alam, manusia, dan budaya yang sangat menawan. Namun, semua kelimpahan itu belum mendatangkan kesejahteraan yang optimal bagi publik. Tantangan bupati terpilih adalah mengkreasi kebijakan dan mengeksekusi kerja politik yang efektif dalam mengelola dan mengonversi pelbagai potensi itu menjadi susu dan madu kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi publik Mabar.
Bupati ‘Penakluk Tantangan’: Memaknai Kontestasi
Pelbagai tantangan yang akan dihadapi oleh seorang ‘bupati Mabar” seperti yang dipaparkan di atas, mengharuskan kita untuk memaknai kontestasi Pilkada sebagai momen membidik sosok pemimpin dengan kualifikasi politik yang mumpuni. Mabar tentu saja sangat membutuhkan bupati yang punya ‘kemampuan’ untuk menaklukan aneka tantangan tersebut.
Status Mabar sebagai salah satu ‘destinasi super premium’ sekaligus ‘pintu gerbang Flores’ bagian Barat, tentu saja menuntut keberadaan seorang pemimpin yang tidak hanya ‘setia pada aturan teknis-regulatif-administratif’, tetapi pemimpin yang memiliki imajinasi dan konsep politik yang besar. Kabupaten ini sangat potensial untuk menjadi Kabupaten ‘termaju’ di NTT ini, jika dinahkodai oleh seorang pemimpin yang hebat.
Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis