Berita

Pilih yang Muda atau yang Tua

Penulis Sil JoniĀ  pemerhati masalah sosial dan politik

Polemik tentang pelaksanaan Pilkada di musim Covid-19 kian menguat dalam ruang diskursus publik hari-hari ini. Pihak KPU selaku penyelenggara sudah memberikan semacam sinyal bahwa kontestasi Pilkada secara serentak itu tetap dilaksanakan di masa pandemi Corona. Pelaksanaan pesta politik di musim pandemi, tentu saja berimplikasi pada penambahan anggaran yang sangat fantastis. Penambahan anggaran itu tentu saja berkaitan dengan penerapan pelaksanaan Pilkada yang mesti mengikuti pelbagai skema pencegahan dan penanganan wabah covid-19 itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk merespons debat publik semacam itu. Saya lebih tertarik membahas salah satu isu menarik yang sering didiskusikan dalam setiap momen kontestasi, yaitu tren kecenderungan pemilih dalam mendukung kandidat berdasarkan ‘usia.

Dari sisi naluriah, kita cenderung tertarik dengan ‘yang muda’. Tanpilan lahiriah dari ‘yang muda’ itu, biasanya begitu memesonana sehingga hati kita ‘terpikat’ padanya. Ada semacam ‘sisi plus’ yang kerap memancar dari ‘yang muda’ itu. Sekedar contoh, umumnya para ‘pemburu nafsu seks’, selalu terobsesi dan jatuh dalam pelukan ‘daun muda’. Jika disuruh memilih antara yang tua dan muda, setidaknya dalam dunia asmara, kebanyakan kita tak ragu menjatuhkan pilihan pada ‘yang muda’.

Namun, rupanya ‘perangkat instingtual’ itu tak beroperasi secara optimal dalam domain politik. Tidak ada garansi bahwa yang muda ‘menjadi idola’ para pemilih ketika musim pertarungan politik tiba. Manggarai Barat bisa dijadikan contoh perihal kebenaran dari asumsi di atas. Dari Pilkada ke Pilkada, sosok politik yang relatif muda usia, tak mendapat dukungan suara signifikan dari publik.

Kendati demikian, diskursus tentang ‘usia para kandidat’ tak pernah surut dalam setiap perhelatan Pilkada. Isu itu terus dieksploitasi untuk sekadar memengaruhui opini publik dan serentak membunuh karakter para rival politik. Saat ini, ada yang dengan gagah ‘menggotong wacana itu’ dalam panggung politik lokal yang tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran politik pada tahun 2020 nanti.

Pertanyannya adalah apakah ada ‘korelasi’ yang tegas antara usia seseorang dengan ‘mutu leadership’ yang diperlihatkannya? Benarkah bahwa pemimpin politik yang berusia muda ‘lebih superior’ dalam hal menerapkan kepemimpinan yang efektif? Apakah ‘pengagungan’ unsur usia di musim kontestasi ini dilatari oleh ‘studi empiris-ilmiah’ atau sekadar asumsi yang belepotan dengan interes politik parsial? Mengapa isu ‘usia kandidat bupati’ terus digoreng dalam masa persiapan menjelang pelaksanaan Pilkada Mabar?

Perang narasi dan wacana soal usia sang jagoan politik begitu menguat di berbagai forum diskusi publik terutama di kanal media sosial. Ada kelompok yang mengklaim bahwa figur kesayangannya ‘lebih hebat dan pas’ untuk menjadi bupati Mabar sebab usianya masih muda. Mabar menurut mereka membutuhkan sosok bupati yang energik, progresif, dan segar dari sisi umur. Ribuan asumsi (anggapan) dibentangkan untuk menjustifikasi tesis itu.

Jika kita setia memotret peforma politik dari para pemimpin kita di tanah air, sesungguhnya tidak ada bukti yang valid dan meyakinkan bahwa sosok berusia muda lebih cemerlang dalam praksis kepemimpinannya. Tidak ada data pembanding bahwa jika suatu daerah dipimpin oleh orang muda, maka daerah itu mengalami lompatan kemajuan yang spektakuler.

Karena itu, saya justru menilai bahwa ‘peniupan isu usia figur’ di musim kontestasi merupakan topik yang irelevan, usang dan basi. Wacana semacam itu tidak lebih sebagai ‘jurus negatif’ untuk menghentikan arus dukungan publik pada rival politik ketimbang berkontribusi pada perubahan kualitas kepemimpinan dalam gelanggang politik lokal kita.

Perlu diingat bahwa kita memilih ‘calon pemimpin politik yang kualifikatif’, bukan figur yang didewakan dari sisi usia. Faktor umur, umumnya relatif tidak berpengaruh pada tingkat kualitas leadership seorang pemimpin. Jadi, masihkah kita bernafsu dan agresif untuk menjadikan faktor umur sebagai ‘bahan kampanye politik’?

Namun, isu peremajaan atau kaderisasi kepemimpinan tetap dijadikan bahan diskursus di ruang publik. Urgensi dan relevansi isu itu tidak dimaksudkan untuk ‘menggunting’ kiprah politik dari generasi tua dalam sebuah kompetisi politik seperti Pilkada.

Sebagai jalan tengah (semacam sisntesis), saya kira tidak salah juga jika figur tua dan muda berjuang dalam satu kendaraan politik yang sama dalam Pilkada ini. Duet politisi tua dan muda semacam itu, boleh jadi membawa keuntungan politik tersendiri. Karena itu, baik yang tua maupun yang muda, jika mereka berkolaborasi secara produktif, bersanding dalam satu payung perjuangan, maka tidak menutup kemungkinan mendapat simpati yang signifikan dari publik konstituen.

Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker