Berita

Desain Pembangunan  Pariwisata Destruktif (Polemik Pembangunan ‘Sarpras’ di Pulau Rinca)

Penulis  Sil joni pemerhati masalah sosial dan politik

Terjangan badai caovid-19 tak ‘menyurutkan’ gairah politik pemerintah pusat (Pempus) untuk menata wilayah Taman Nasional Komodo seturut ‘blue-print’ pembangunan yang mereka desain sendiri. Kabar yang teranyar adalah rencana ‘Perjanjian Kerja Sama’ antara Kementrian PUPR dan Kementrian LHK dalam membangun sarana dan prasarana (sarpras) dan pemberian izin investasi swasta di Loh Buaya, Pulau Rinca.

Kali ini, Pempus datang dengan term yang ‘agak halus’, yaitu pembangunan sarpras. Sebuah nomen klatur politik yang terasa lebih sejuk dan memikat ketimbang ‘pembangunan usaha wisata alam’ dari pihak swasta yang mendapat resistensi massif pelbagai elemen masyarakat Mabar pada tahun 2018 yang lalu.

Kendati demikian setelah dikaji, ternyata secara substansial intensi dan orientasinya tetap sama, yaitu membangun aneka infrastruktur pariwisata modern di kawasan di Taman Nasional, Pulau Rinca.

Diisukan bahwa proyek pembangunan Sarpras di Loh Buaya itu akan menelan ongkos sebesar 67 miliar rupiah. Dana sebesar itu akan digunakan untuk membiayai beberapa item proyek berikut; jalan gertak elevated, penginapan petugas ranger dan peneliti, area pemandu wisata seluas 1510 meter persegi,  pusat informasi, pos istirahat, dan pos jaga. Masih menjadi bagian dari Sarpras itu, rencananya akan dibangun sumur bor, dipasang pipa sepanjang 144 meter persegi, pengaman pantai sepanjang 100 meter, pembangunan dermaga seluas 400 meter persegi dengan panjang 100 meter dan lebar 4 meter melalui Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM).

Selain itu, KLHK juga telah mengeluarkan izin bagi pembangunan resort dan sarana wisata, yaitu PT Komodo Sagara Lestari (PT KSL) di atas lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca. Izinan yang sama juga diberikan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourisme (KWE) di atas lahan seluas 426,7 hektar di Pulau Komodo dan Pulau Rinca (Bdk. Surat dari Para Pegiat Konservasi kepada Pimpinan dan Anggota Komisi IV, V, dan X DPR-RI, 25 Juli 2020).

Mentang-Mentang ‘Zona Pemanfaatan’

Seperti biasa, negara (pempus) selalu menggunakan pendasaran legal dalam memuluskan skenario berinvestasi ria di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Jauh sebelum rencana politik itu didesain dan dieksekusi, Negara melalui otoritas terkait telah merancang pengelolaan TNK itu berbasis zonasi. Selain zona konservasi, Negara sudah menetapkan zona khusus untuk pemanfaatan praktis oleh manusia.

Negara menerjemahkan ‘zona pemanfaatan’ itu sebagai ruang ideal untuk membangun pelbagai sarana dan prasarana pariwisata baik yang dikelola oleh Negara maupun oleh pihak swasta. Dengan demikian, dari sisi legalitas dan regulasi formal, Negara terkesan berada pada jalur yang tepat (on the right track).

Implementasi konsep berivestasi di TNK ditopang oleh ‘perangkat legal’ yang didesain oleh negara sendiri.

Semuanya dikendalikan oleh Negara. Seolah-olah penduduk lokal di kawasan itu dan publik Mabar umumnya tak punya hak untuk ‘menentukan’ model dan arah penegelolaan pelbagai aset wisata strategis di daerah ini. Kita semua ‘dipaksa’ untuk tunduk di bawah ‘grand design’ pempus.

Kuasa dominatif dan hegemonik negara yang terekpresi dalam pelbagai aturan legal dan penetapan kewenangan sepihak, sejauh ini cukup efektif ‘membungkam’ Pemerintah daerah (Pemda) dan publik Mabar.

Padahal, sejauh ini Publik belum mendapatkan semacam ‘kajian akademik komprehensif dan holistik’ dari negara terkait dengan penjabaran zona pemanfaatan yang dalam kaca mata Negara dipakai sebagai lokus investasi. Apakah ada ‘evidensi pembanding dan variabel argumentatif’ untuk menjustifikasi kebijakan berinvestasi di zona pemanfaatan itu yang nota bene merupakan bagian tak terpisahkan dari ekosisten TNK yang harus dikonservasi itu? Alih-alih membuat ‘studi kelayakan’, negara dengan sewenang-wenang memanfaatkan celah ‘regulasi ciptaannya’ sendiri untuk membenarkan rencana pembangunan mega-proyek investasi di Pulau Rinca.

klik ling ini untuk mendukung pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati Manggarai Barat, https://jaringpos.com/pilkada-manggarai-barat-tahun-2020-1/

Pelan tetapi pasti, dampak negatif dari proyek ambisius menjadikan Labuan Bajo sebagai ‘destinasi wisata super premium’, mulai tersingkap. Negara secara sistematis ‘menancapkan kuku dominatifnya’ dalam mencaplok dan mengeksploitasi sumber daya alam dan budaya kita, dan serentak mengesklusi warga lokal dalam gemuruh pelaksanaan industri turisme yang berwatak elitis dan eksklusif itu.

Peran negara dan mitra bisnisnya begitu sentral dan pada saat yang sama warga lokal semakin marginal.

Negara dengan leluasa mengkreasi regulasi dan menggunakan otoritasnya untuk ‘mendepak’ warga lokal ke status tak berdaya. Kita hanya menjadi penonton jalannya pelbagai proyek negara tersebut. Tragis memang dan memang tragis. Negara dan para kapitalis ‘berpesta pora’ di atas lahan dan obyek wisata milik kita.

Sebetulnya, jika kita berpikir serius Pempus bersama kolega bisnisnya tak pernah dan tak mau tahu soal kearifan lokal, gestur alam, dan pelbagai dinamika real di wilayah ini. Mereka tidak punya kepentingan untuk ‘menyelematkan dan merawat’ keindahan dan keberlanjutan aktivitas pariwisata di wilayah ini. Para politisi-pebisnis ini itu hanya tahu bagaimana ‘memburu untung semaksimal mungkin’ di atas kekayaan alam wisata kita.

Pariwisata Berbasis Alam dan Berkelanjutan

Karakterisktik pariwisata di Mabar sebenarnya bukan pada ‘keterampilan manusia’ dalam menciptakan keindahan artifisial. Kekuatan utama pariwisata kita adalah keindahan alam yang berifat eksotis dan orisinal. Para pelancong datang ke tanah ini, bukan karena terpikat dengan ‘bangunan modern atau sarana-prasarana yang canggih’, tetapi semata-mata terpesona oleh ‘keajaiban alamiah binatang Komodo dan pelbagai panorama alam yang menakjubkan di sini’.

Karena itu, beberapa pertanyaan gugatan patut dikedepankan. Apa urgensi dan signifikansi pembangunan sarpras modern persis di habitat asli binatang Komodo dan Satwa langka lainnya di Pulau Rinca itu? Apakah wisatawan sangat ‘membutuhkan’ Sarpras semacam itu? Apakah pembangunan itu tidak ‘merusak’ keperwanan dari sebuah ekosistem yang terkenal dengan keindahan naturalnya? Siapa sebenarnya yang mendapat untung dari proyek semacam itu?

Sudah sangat ‘evident’ bahwa pembangunan sarpras serta pemberian izin investasi resort swasta di Pulau Rinca ‘menodai’ estetika dan eksotika alam di tempat itu. Bukan bangunan modern yang diincar oleh wisatawan, tetapi ‘factum keindahan alam’ yang tak bernoda itu.

Dengan demikian, saya berpikir kebijakan membangun sarpras berteknologi kompleks di area konservasi tentu sebuah kebijakan yang fatalistis dan kontraproduktif. Justru program semacam itu berpotensi ‘merusak’ alur dan dinamika perkembangan industri pariwisata di daerah ini. Prinsip pengelolalaan pariwisata yang berkelanjutan dan berbasis ‘kondisi alam’, telah dilecehkan oleh Pempus jika rencana itu tetap ‘dieksekusi’. Itu berarti Pempus dengan tahu dan mau mendestruksi dan membunuh ‘denyut nadi’ kekuatan pariwisata di sini.

Alih-alih dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan sebagaimana yang diklaim oleh ‘mulut penguasa’, pembangunan itu justru berpotensi menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Labuan Bajo. Mengapa? Keindahan alam, sepotong firdaus purba yang menjadi branding wisata kita, sudah diperkosa untuk memuaskan nafsu memburu profit. Ketika destinasi wisata itu tak lagi memancarkan nuansa eksotika yang alamiah, maka ‘rasa ingin tahu’ wisatawan pun berkurang. Tentu ini sebuah kerugian besar bagi Mabar yang sedang ‘menggantungkan harapan perbaikan kondisi politiknya’ dari sektor pariwisata.

Jadi, model pembangunan yang sedang ‘digagas’ oleh Pempus itu bertentangan dengan ‘esensi sebuah agenda konservasi’ dan merusak keindahan ekologi Komodo. Agenda itu lebih memperlihatkan watak rezim ini yang cenderung ‘melayani syahwat ekonomi’ para investor (kapitalis) ketimbang memberdayakan potensi kemandirian warga dalam mengelola sumber daya alam yang mereka miliki. Sebuah pembangunan politik kepariwisataan yang ‘tidak ramah lingkungan’ dan bertendensi meminggirkan  peran warga lokal.

Untuk itu, mengingat ‘efek destruktif’ dari kebijakan pembangunan sarpras itu kemungkinan sangat massif dan besar, maka sedari awal publik mesti memberikan perlawanan yang serius dan intensif. Kita mesti menggalang (mengkonsolidasi) kekuatan untuk merancang sebuah gerakan perlawanan yang berisfat sistematis, terencana, dan sistematis. Sebuah gerakan yang melibatkan semua stakeholder’s bidang kepariwisataan semua elemen masyarakan sipil di Mabar ini.

Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker