Komunikasi, Identitas Naratif, dan Momen Revelasi Diri

Oleh: Sil Joni
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik
Sosialitas tak mungkin termanifestasi secara paripurna tanpa komunikasi. Status sebagai makhluk sosial mengandaikan adanya aktus komunikasi dialogis. Atas dasar itu, tesis genial para filsuf bahwa manusia merupakan ens komunikatif, tentu tidak hanya untuk diamini secara pasif, tetapi coba ditelaah lebih dalam perihal praksis berkomunikasi itu dalam sebuah komunitas manusiawi.
Dari sisi tilik fenomenologis, hidup manusia selalu bersifat intensional, terarah ke tujuan tertentu entah subyek maupun suasana (locus). Karena itu, manusia membutuhkan ‘kode makna’ untuk menjangkau apa yang dituju tersebut. Ruang sosial, hemat saya dipenuhi dengan jaringan makna tersebut. Manusia mesti menyingkap selubung makna itu agar situasi saling pengertian bisa muncul. Dengan kata lain, manusia mesti mengkomunikasikan dirinya kepada sesama agar medan makna itu bisa tersingkap.
Secara etimologis kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatus, yang jika dilacak perkataan itu bersumber pada kata communis. Kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Itu berarti hanya dalam dan melalui tindakan komunikasi, saling kesepahaman bisa terbangun.
Komunikasi, dengan demikian, menjadi jembatan perantara untuk ‘mengatasi fakta disparitas dan diferensiasi makna’ sebagai konsekuensi logis dari factum pluralisme dalam kehidupan manusia. Perjumpaan dalam suasana ‘saling mengerti’ akan sulit dipraktekkan jika, kita tidak keluar dari cangkang ego yang terekspresi lewat dialog yang komunikatif.
Kegiatan komunikatif juga hemat saya berkorelasi dengan status ontologis kemanusiaan kita sebagai makhluk naratif. Formasi identitas kita tidak pernah lepas dari unsur pengisahan. Hanya dalam dan melaui actus komunikasi (wicara) fragmen kehidupan kita dikisahkan. Kita membutuhkan orang lain untuk mendengar sekaligus menanggapi setiap narasi hidup yang kita tenun.
Sebenarnya, identitas manusia itu bersifat naratif. Hidup dan pemikirannya merupakan rangkaian narasi yang membentuk alur sejarah yang menawan. Karena itu, pelbagai ‘narasi kecil’ yang bermukim dalam tubuh kita, perlu disejarahkan secara kreatif. Kita membutuhkan media komunikasi yang efektif untuk mendagingkan aliran darah sejarah dalam setiap lintasan episode kehidupan manusia.
Tema hari Komunikasi Sedunia tahun ini, hemat saya sebetulnya coba mengakomodasi sekaligus mengelaborasi perihal ‘identitas naratif’ itu. Hidup manusia memang menjadi cerita yang menarik. Tentu sebuah kemustahilan kita bisa memaknai cerita hidup itu tanpa mempraktekkan tindakan komunikasi yang benar. Jadi, komunikasi merupakan sarana pemanifestasian rangkaian kisah hidup dari masing-masing pribadi yang berjumpa dalam ruang sosial tertentu.
Selanjutnya, urgensi dan signifikansi tindakan komunikatif semakin terasa ketika dikonfrontasikan dengan kenyataan paradoksal, enigmatis, dan dimensi misteri dari kepribadian seorang manusia. Kita sulit menangkap dan mencerna ‘isi hati seseorang’ jika tidak dikomunikasikan melaui media tertentu.
Karena itu, pada saat berkomunikasi, sebenarnya kita sedang ‘merevelasikan’ diri kepada orang lain. Actus komunikasi bisa dilihat sebagai momen pewahyuan dan pemberian diri kepada orang lain. Problem paradoksal dan sisi enigmatis dalam tubuh manusia bisa diatasi dengan tindakan komunikatif. Dengan rumusan lain, komunikasi merupakan sebuah upaya menyingkap sisi terang dari diri kita kepada orang lain.
Jadi, komunikasi sebetulnya lebih dari sekadar ‘bercakap-cakap’ baik secara verbal maupun non-verbal. Komunikasi juga tidak bisa disimplifikasi dan direduksi sebagai dialog semata. Lebih dari sekadar dialog dan bercakap-cakap, komunikasi merupakan proses pembentukan identitas kepribadian yang bersifat naratif sekaligus momen pewahyuan diri kepada yang lain.
Namun, tak bisa dihindari, dalam praksisnya tindakan komunikasi itu sering dimanipulasi untuk menggapai ambisi yang bersifat subyektif. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang kian canggih, seolah memfasilitasi kekaburan dan distorsi dalam berkomunikasi. Keterampilan dalam berkomunikasi kerap dijadikan modal untuk mengejar keuntungan personal meski atas ongkos peminggiran hak-hak orang lain.
Kini, kita semakin sulit menemukan pola komunikasi interpersonal yang bebas dari debu manipulasi. Komunikasi yang tulus dan jernih seolah menjadi barang langka. Banyak cerita hidup dan kehidupan yang melayang di ruang publik, hasil rekayasa teknologi media semata. Sisi gelap dalam diri manusia semakin lebar. Keberadaan teknologi media komunikasi, dalam banyak kasus gagal menjadi ‘menyingkap eksistensi diri yang otentik’, tetapi sebagai tameng untuk menutup kerapuhan diri.
Di tengah latar praksis komunikasi yang terdistorsi itu, hari Komunikasi Sosial sedunia semestinya menjadi momentum untuk mengembalikan marwah dan esensi dari tindakan berkomunikasi di tengah dunia saat ini. Kita mempunyai tanggung jawab etis untuk menerapkan pola dan strategi komunikasi yang mendatangkan rahmat dan kemaslahatan bagi sesama.
Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis