Wisata Super Premium, Pelarangan Wartawan dan Eksklusi Sosial

Penulis Sil Joni Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik
Sebutan destinasi ‘wisata super premium’ untuk Labuan Bajo lebih dari sekadar label. Secara semantik, julukan itu mengacu pada model paradigmatis pengelolaan potensi pariwisata di daerah ini. Melalui predikat itu, Negara tidak hanya mau mendominasi hak pengelolaan bidang turisme, tetapi juga secara implisit berusaha ‘mendepak’ masyarakat (lokal) untuk sekadar mendapatkan keuntungan dari keberadaan aneka aset wisata itu.
Dengan label ‘super premium’, Negara (baca: Pemerintah Pusat) hendak mengkreasi ‘zona ekslusifitas dan superioritas sektor wisata terhadap bidang-bidang lainnya. Masyarakat (lokal) semakin tereklusi dan termarginalisasi sebab keterbatasan sumber daya untuk berkompetisi dalam pasar wisata yang elitis-eksklusif itu.
Pemerintah Pusat (Pempus) begitu serius dan agresif mewujudkan agenda politik menjadikan Labuan Bajo sebagai ‘destinasi super premium’. Anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan aktivitas industri turisme melonjak drastis. Dana negara digelontorkan untuk menata pelbagai fasilitas publik sehingga proyek investasi di bidang kepariwisataan bisa berjalan optimal.
Keseriusan itu juga tidak hanya dilihat dari ‘kiriman uang dalam jumlah fantastis’ ke Labuan Bajo, tetapi bisa terbaca dari tingginya frekwensi dan intensitas visitasi politis para pejabat negara di sini. Tidak ada kota di Flores ini yang dikunjungi beberapa kali oleh presiden Joko Widodo, selain Labuan Bajo. Sudah tidak terhitung pejabat negara setingkat mentri yang datang dan memantau langsung jalannya roda pembangunan destinasi super premium ini.
Tegasnya, untuk urusan pengejawantahan label super premium, Pempus memberikan perhatian yang ekstra dan eksklusif terhadap perkembangan sektor kepariwisataan itu. Sebuah bentuk kebijakan politik yang diskriminatif. Labuan Bajo seolah menjadi ‘anak emas’ pempus.
Mentri Perencanaan Pembangunan Negara atau Kepala Bappenas, Suharso Monoarsa adalah pejabat negara terbaru yang datang ke Labuan Bajo, Kamis (16/7/2029). Salah satu agenda dalam kunjungan kerja Suharso kali ini adalah memantau secara langsung perkembangan dan kemajuan pembangunan ‘fasilitas mewah’ di kawasan Puncak Waringin, Labuan Bajo.
Sayangnya, entah apa alasannya, kedatangan pejabat negara di lokasi itu, tidak boleh ‘diliput’ oleh awak media. Salah seorang dari ‘rombongan kepala Bappenas’ itu, seperti yang dilansir sejumlah media daring, ‘mempertanyakan kehadiran para jurnalis lokal di tempat itu. Efeknya adalah publik Mabar tak mendapat pasokan informasi yang akurat perihal intensi dan aktivitas sang mentri di Puncak Waringin itu. Kita tidak tahu skenario apa yang sedang dirancang sehingga awak media tidak boleh mengekspos peristiwa itu.
Saya kira, tindakan ‘melarang wartawan’ untuk meliput kegiatan politik formal dari seorang pejabat publik di tingkat lokal, selain menimbulkan spekulasi opini yang variatif, tetapi juga sebuah bentuk pengangkangan hakikat demokrasi itu sendiri. Kepala Bappenas adalah seorang yang digaji oleh negara dan datang ke Labuan Bajo tentu dibiayai oleh negara. Karena itu, publik berhak ‘mengetahui’ apa saja yang dibicarakan dan dibuat oleh pejabat publik itu selama berada di sini. Beliau tidak datang untuk ‘pelesir’ atau bersenang-senang yang tidak ada kaitannya dengan ‘urusan publik’, tetapi datang sebagai seorang ‘mentri, kepala Bappenas.
Selain itu, bangunan di Puncak Waringin itu juga bukan ‘properti pribadi’ dari seorang Suharso, tetapi milik negara yang dibangun dengan menggunakan uang publik. Lalu, mengapa publik yang diwakili oleh sekelompok jurnalis itu dilarang untuk ‘melaporkan’ peristiwa seorang Kepala Bappenas meninjau sebuah bangunan milik negara? Ada di balik aksi pelarangan itu?
Insiden pelarangan atau pembatasan akses wartawan untuk meliput sebuah ‘aktivitas politik’ dari pejabat publik, bisa ditafsir sebagai sebuah pengkerdilan kebebasan pers. Ini sebuah preseden buruk terkait penguatan mutu praksis berdemokrasi di negara ini. Pembangkangan dan pembungkaman terhadap pers merupakan embrio lahirnya dan menguatnya virus totalitarianisme dari rezim yang sedang berkuasa saat ini.
Lebih jauh, kasus ‘pelarangan terhadap wartawan di Puncak Waringin’, bisa menjadi contoh terbaik soal fenomen eksklusi sosial sebagai ekses dari penerapan model pengelolaan pariwisata yang bercorak ‘super premium’. Kita tahu bahwa Puncak Waringin merupakan salah satu ‘spot wisata dalam kota’ yang terkenal dengan lanskap senja yang menawan itu. Persis di atas ‘bukit super indah’ itulah, Pempus mengerjakan sebuah proyek investasi bisnis pariwisata yang menggiurkan. Penataan terhadap lokasi itu tentu saja mengikuti logika wisata super premium yang elitis-eksklusif itu.
Kisah ‘pelarangan terhadap wartawan’, saya kira memberikan pesan politis yang tegas bahwa kawasan itu bakal ‘disulap menjadi’ kawasan yang super-eksklusif. Perlahan tetapi pasti, dampak negatif dari wisata super premium itu mulai terasa. Jika wartawan saja dilarang masuk, apalagi ‘rakyat jelata’, kemungkinan diusir dari tempat itu. Kita menjadi teralienasi di tanah sendiri. Kita hanya menonton dan mendengar ‘hiruk-pikuk’ dan lalu lintas permainan politik dan roda bisnis yang dikelola secara ‘tertutup’ tersebut.
Untuk itu, publik Mabar tidak boleh ‘terkecoh’ dan terbuai dengan narasi palsu dari pemimpin politik soal label wisata super premium, pariwisata sebagai leading sector, dan pariwisata sebagai solusi atas kemiskinan. Mengapa? Semuanya itu bohong belaka. Yang terjadi adalah publik semakin tersingkir (tereksklusi). Pemerintah tak pernah serius mempersiapkan sumberdaya manusia yang handal di Mabar untuk bisa menjadi pemain aktif dalam lapangan kepariwisataan kita.
Pariwisata dalam skenario pengelolaan model ‘super premium’ justru memperlihatkan watak dominatif, eksploitatif, pencaplokan pelbagai sumberdaya alam dan budaya. Ironis dan paradoks memang. Kita miskin di tengah melimpahnya sumberdaya pariwisata yang sudah mendunia itu. Para politisi-pejabat nasional dan kroni-kroni bisnis mereka meraup untung yang besar dari keberadaan obyek wisata dunia di Mabar ini.
Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis