Perihal Eksistensi Iintelektual Media Sosial

Penulis Sil Joni pemerhati masalah sosial dan politik
Saya merasa ‘ditampar’ secara telak ketika membaca komentar kritis filsuf Jurgen Habermas perihal ‘mati dan sekaratnya’ spesies intelektual publik yang serius sebagai efek kemunculan media sosial dalam pelbagai platform. Sebagai cendekiawan (tradisional) yang menghargai ‘argumentasi rasional’, Habermas menilai bahwa kehadiran media sosial justru ‘membonsai tradisi berdialektika secara argumentatif-rasional’ tersebut.
Dedengkot Teori Kritis mazhab Frankfurt Ini, begitu skeptis dengan peran media sosial sebagai ruang ideal lahirnya pemikiran dengan reputasi intelektualitas yang mengagumkan. Kritik Habermas, jika dikonfrontasikan dengan realitas ‘kegaduhan di ruang maya’, memang tidak sepenuhnya salah. Benar bahwa media sosial tak bisa menjadi medium kredibel untuk memproduksi dan mendiseminasi diskursus intelektual yang bermutu.
Alih-alih menjadi habitat para intelektual serius, justru ruang virtual itu lebih banyak disabotase oleh para pendengung dan kaum propogandis yang sensasional. Jagat maya dalam takaran tertentu tak ubahnya sebagai ‘kanal penyaluran limbah emosional’ yang belepotan dengan kebencian, kebohongan, berita palsu, pembunuhan karakter yang dianggap sebagai ‘musuh dalam selimut’.
Namun, komentar Habermas itu, pada sisi yang yang lain, saya kira tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Saya kira Habermas terjebak dalam sebuah asumsi yang bersifat reduktif dan simplifikatif. Sudah tidak terhitung pemikir dengan reputasi internasional masih menggunakan media sosial untuk ‘menggaungkan’ suara kritis-akademis mereka dalam merespons dan menganalisis pelbagai isu sosial-politik saat ini. Bahkan banyak cuplikan pikiran bernas mereka baik dalam bentuk Buku maupun dalam jurnal internasional terakreditasi didiseminasikan secara kreatif ke publik melalui kanal media sosial.
Tentu, agak muskil untuk ‘memproduksi’ sebuah traktat akademis-saintifik berkualitas di ruang virtual itu. Tetapi, bukan sesuatu yang mustahil untuk menyebarkan ‘karya bermutu’ itu di jagat maya. Antara ‘karya intelektual yang tertuang dalam buku klasik (kertas) dengan ruang imajiner bersifat komplementer. Buku-buku bermutu dari para cendekiawan bereputasi, tetap bisa dipasarkan secara imajiner dalam berbagai kanal virtual.
Pertanyaannya adalah apakah para pemikir yang ‘menyebarkan karya-karya mereka’ di media sosial, tidak masuk dalam kategori ‘intelektual’? Apakah status dan mutu intelektual yang setia dengan ‘buku kertas’ lebih tinggi dari mereka yang mengoptimal fungsi media sosial? Apa dan siapa kaum intelektual itu?
Saya berpikir, kurang etis dan valid jika kita membuat ‘garis demarkasi’ soal mutu intelektualitas dari ilmuwan, pemikir, filsuf yang bergaya konvensional dengan kelompok yang lebih akrab dengan media sosial. Intelektual yang berkiprah di media sosial, jika istilah intelektual itu, tetap dipakai, status kecendikiawannya tidak menyusut atau berkurang hanya karena dia tercebur dalam jagat tak terhingga itu. Mereka tetap disebut sebagai ‘intelektual sejati’ yang memanfaatkan media sosial sebagai wahana operasionalisasi dari pemikiran intelektualnya.
Kendati demikian, kritik Habermas, bagaimana pun juga, sangat berguna untuk melihat posisi dan peran kecendikiawanan dari mereka yang tergolong dalam barisan intelektual media sosial itu. Isu kuncinya adalah seberapa jauh mereka bersikap konsisten dalam menuangkan aneka pemikiran bernas di media sosial. Apakah mereka tetap memegang teguh prinsip dan nilai akademik-saintifik ketika terlibat dalam diskursus publik di ruang maya itu? Apakah mereka tidak tergoda untuk ‘melacurkan status intelektualnya’ demi mencari popularitas palsu dan interes ekonomi politik yang bersifat dangkal dan murahan?
Pertanyaan terakhir ini tentu menjadi ‘tantangan serius’ bagi para intelektual yang ‘beraktualisasi diri’ di ranah virtual. Sangat disayangkan jika kelompok yang semestinya masuk dalam tipologi intelektual media sosial, terjebak dalam arus sensasionalisme dan populisme yang cenderung ‘pamer gaya’ ketimbang mutu substansi gagasan.
Sampai pada titik ini, saya terjaga dan menggugat diri saya sendiri apakah saya sudah konsisten berpegang pada kaidah etik akademik-saintifik dalam berpartisipasi mengonstruksi diskursus bermutu di ruang media sosial? Habermas menyadarkan saya untuk ‘tidak lekas berbusung dada’ dalam mengklaim diri sebagai intelektual, jika gaya dan metode berpikir saya di ruang maya tak berbeda dengan para pendengung dan pemburu sensasi.
Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis