Naluri Kapitalisme di Tengah Pandemik Covid-19 (Membaca Kontroversi ‘Pengambil-alihan Pantai Pede oleh Pemprov NTT)

Oleh: Sil Joni*
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.
Corona-virus disease 2019 (Covid-19) menjadi pandemik yang sedang ‘mengguncang’ publik global saat ini. Energi atensi politik publik dan para pejabat politik masih terfokus pada upaya pemutusan manta rantai penyebaran virus itu. Covid-19, meminjam cara baca filsuf Slavof Zizek, memaksa kita menyebarkan virus komunisme berupa solidaritas global yang melampaui perbedaan identitas dan interes. Masyarakat global sedang bersatu melawan musuh bersama (common enemy) dalam dunia medis tersebut.
Lebih lanjut, pemikir yang dijuluki sebagai ‘filsuf paling berbahaya di Eropa’ ini, dengan lugas berspekulasi bahwa Corona bisa menjadi semacam sebuah ‘serangan telak untuk kapitalisme’. Bukan tidak mungkin, era kebangkrutan kapitalisme akan segera tiba. Corona memaksa kita untuk menata ulang sistem ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada mekanisme pasar dan berorientasi pada akumulasi kapital dan profit.
Namun, sinyalemen dan catatan kritis para pemikir seperti Zizek itu seolah tak ‘beresonansi’ dalam panggung politik lokal kita. Desakan dan dorongan untuk ‘berjibaku’ dalam memerangi Corona, tak menyurutkan spirit politik Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT untuk masuk dalam pusaran proyek berbasis kapitalisme di Pantai Pede, Labuan Bajo.
Beberapa media daring, edisi 18/4/2020, secara serempak menurunkan berita seputar keputusan pengambilalihan tanah dan bangunan di Pantai Pede oleh Pemprov NTT yang selama ini dikelola oleh PT Sarana Investama Menggambar (PT SIM) sebagai ‘mitra kerja’ Pemprov sekaligus reaksi penolakan dari pihak PT SIM. Keputusan pengambilalihan dan pengosongan tanah yang dikontrak ke PT SIM itu dieksekusi berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemvrov NTT Nomor: BU.030/60/BPAD/2020 tanggal 31 Maret 2020, perihal: “Pemutusan Hubungan Kerja”. Sedangkan perintah pengosongan dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemprov NTT Nomor: BU.030/61/BPAD/2020 tanggal 01 April 2020, perihal: “Surat Peringatan Pertama (SP-1)”.
PT SIM menolak ‘pemutusan kerja sama’ yang terkesan sepihak dan keberatan untuk menyerahkan bangunan (hotel Plago) di Pantai Pede itu. Dasarnya adalah surat pemutusan kerja sama tersebut didasarkan pada fitnah yang bertentangan dengan fakta sesungguhnya. PT SIM melalui kuasa hukumnya Kresna Guntarto menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah terlambat atau menunggak pembayaran biaya kontribusi tahunan pada 2015/2017 sebagaimana dituduhkan dalam surat pemutusan hubungan kerja sama itu.
“Mereka (PT SIM) selalu membayar kontribusi tahunan sesuai perjanjian kerja sama yang telah disepakati mulai dari tahun 2017 s/d 2019, serta terus berkomitmen untuk membayar kontribusi tahunan dan pembagian hasil sebesar 10% di tahun ke-10. Pembayaran kontribusi baru dilakukan sejak 2017 karena tahun 2014 s/d 2016 adalah masa konstruksi yang belum dikenakan kewajiban membayar kontribusi”, tegas Khresna dalam siaran pers (press realease) terkait tanggapan PT SIM atas kebijakan Pemprov itu.
Kuat dugaan bahwa keputusan ‘pemutusan kerja sama dan perintah pengosongan aset di Pede itu dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang, maka PT SIM sudah melaporkan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat kepada Ombudsman RI pada hari Rabu (08/04/2020). Selain itu, PT SIM juga mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI selaku pengawas jalannya pemerintahan daerah.
Untuk diketahui bahwa kontrak kerja sama antara PT SIM dan Pemprov NTT perihal pengelolaan pantai Pede berlangsung selama 25 tahun. Dalam perjanjian itu, pihak PT SIM diwajibkan membayar kontribusi sebesar Rp 255.000.000 per tahun dan pembagian hasil sebesar 10 persen dari total pendapatan PT SIM yang dimulai pada tahun ke-10. Perusahaan itu seharusnya sudah mulai beroperasi pada tahun 2014. Tetapi, dalam pelaksanaannya mengalami hambatan tersebab oleh derasnya gerakan resistensi publik Mabar terhadap skenario kerja sama tersebut. Praktisnya pembangunan dan pengoperasian berbagai unit infrastruktur untuk pemenuhan kebutuhan industri pariwisata oleh PT SIM baru berjalan normal pada tahun 2017.
Namun, rupanya pihak Pemprov NTT menilai PT SIM wanprestasi dan relatif gagal dalam mewujudkan ekspektasi keuntungan dari aktivitas bisnis itu, sehingga kerja sama itu harus diakhiri. Diberitakan bahwa kemungkinan Pemprov akan meneken kontrak kerja sama dengan PT FLOBAMOR untuk ‘pengelolaan’ Pantai Pede selanjutnya. Itu berarti motivasi mengejar ‘keuntungan sebesar-besarnya’ menjadi pertimbangan Pemprov dalam mengambil alih ‘hak pengelolaan’ atas aset publik itu.
Memang kita mendengar dan membaca penjelasan resmi dari Pemprov yang bernada penghiburan bahwa Pantai Pede akan ‘dijadikan ruang publik’. Kita tidak tahu seperti apa model penataannya nanti ketika perusahaan baru (PT FLOBAMOR) menjadi mitra kerja Pemprov dalam mengelola Pede. Pertanyaan kita adalah apakah PT SIM sebelumnya melarang publik untuk berekreasi di tempat ini? Bukankah argumentasi ‘penyediaan ruang publik menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan dalam kontrak kerja sebelumnya? Apakah PT FLOBAMOR tidak bergerak di atas semangat kapitalistis dalam mengelola Pede sebagai ruang publik?
Tulisan ini tidak berpretensi untuk berpartisipasi dalam diskursus kebenaran hukum di balik polemik ‘pemutusan kerja sama dan pengambilalihan seluruh aset di Pede oleh Pemprov NTT’. Tentu masing-masing kubu menggenggam argumentasi hukum yang meyakinkan perihal keputusan dan respons balik terhadap keputusan itu. Saya hanya membaca dari sisi intensi dan motivasi yang melatari ‘sengketa’ itu dan coba menghubungkannya dengan tujuan gerakan protes publik sejak skema kerja sama itu diberlakukan.
Dari alur cerita soal pemutusan kerja sama dan reaksi penolakan PT SIM terhadap keputusan itu, kita menangkap kesan bahwa ‘perkelahian’ itu dilatari oleh intensi dan motif yang bersifat kapitalistis. Baik Pemprov maupun PT SIM sangat ‘bernafsu’ mengejar profit dalam mengelola Pantai itu. Pemprov menilai keuntungan yang diperoleh dari ‘aset itu’ ketika dikuasai oleh PT SIM dalam beberapa tahun terakhir, kurang maksimal. Hal itu terbukti dari tuduhan wanprestasi sebagai dasar dalam keputusan pengambilalihan tanah dan aset di Pede yang sebelumnya menjadi milik PT SIM.
Sementara itu, PT SIM tentu saja merasa dirugikan dengan sikap Pemprov tersebut. Mereka tidak menemukan alasan yang kuat mengapa perjanjian kerja sama yang semula berjangka waktu 25 tahun, harus terhenti saat ini. Apalagi pihak PT SIM tidak menerima semacam ‘ganti rugi” atas semua jenis kegiatan investasi di pantai ini. Sangat logis jika PT SIM meradang dan memberikan perlawanan melalui jalur hukum.
Naluri ‘memburu untung’ di atas, jelas sangat kontras dengan harapan publik Mabar yang menginginkan pantai Pede menjadi ruang publik yang bebas dan strategis tanpa terbebani oleh nafsu berbisnis dari pihak ketiga (mitra pemerintah). Sekurang-kurangnya, Pantai Pede mesti menjadi ‘aset Pemda Mabar’ sesuai dengan amanat UU No 8 tahun 2003 tentang pemekaran Kabupaten Mabar. Harapannya, Pemda Mabar bisa memfasilitasi dan mengkreasi Pantai itu menjadi sebuah ‘ruang publik yang bersih’. Bersamaan dengan itu, sentra kegiatan ekonomi berskala mikro bisa berdenyut di Pantai ini. Tegasnya, selain menambah PAD Kabupaten, publik Mabar pun turut mencicipi keberadaan Pantai Pede sebagai ruang publik yang strategis dari sisi politik, ekonomi, dan budaya.
Sayang sekali, idealisme publik itu semakin sulit termanifestasi di tengah menguatnya naluri kapitalisme yang bercokol dalam tubuh rezim lokal saat ini. Ironisnya, pameran nafsu kapitalistis itu harus dibuat di tengah upaya menghalau covid-19 di muka bumi ini, termasuk NTT yang memerlukan perhatian ekstra dari para pemangku kepentingan.
Jadi, kebijakan pengambilalihan seluruh aset di Pede oleh Pemprov NTT sebenarnya bukan untuk ‘membayar keringat perjuangan publik Mabar’, tetapi dalam rangka memenuhi hasrat memburu profit semata. Buktinya, ada wacana bahwa Pantai itu kemungkinan akan dikelola oleh PT FLOBAMOR. Apa perbedaannya ketika pantai itu dikelola oleh perusahaan yang baru ketimbang PT SIM? Apa kelebihan dari perusahaan itu? Hanya Pemprov yang tahu jawabannya.
Mungkin atas dasar itulah ada publik yang beranggapan bahwa kebijakan pemutusan kerja sama dan mempercayakan perusahaan baru untuk mengelola Pede itu ibarat ‘dari mulut buaya ke mulut singa’. Setidaknya bagi publik Mabar. Kebijakan itu seakan tak mengubah orientasi dan watak pengelolaan pantai itu yang cenderung melayani kaum kapitalis. Pantai Pede harus dilego dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Semuanya demi melayani hasrat kapitalistis yang tak tertahankan.
Akhirnya, di tengah menjalarnya wabah covid-19, alangkah eloknya kita ‘kurungkan’ nafsu mendagangkan aset publik seperti Pantai Pede dengan memperlihatkan skenario yang bersifat parsial. Mari arahkan energi dan stamina politik pada upaya memerangi virus ini secara optimal.
Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis