Berita

Minus Budaya Baca dan Penulis Gizi Buruk

Penulis Sil Joni pemerhati masalah sosial dan politik

Kita sering mendengar dan mungkin membaca tentang korelasi antara kompetensi membaca dan menulis. Bahwasannya, seseorang akan sulit menjadi penulis yang baik jika ia tidak mempunyai kebiasaan atau budaya baca yang baik juga. Untuk menjadi penulis berbobot, langkah pertama dan utama adalah menjadi pembaca yang hebat. Tegasnya, if you don’t read, you don’t write (kalau engkau tidak punya kebiasaan membaca, engkau tidak bisa menulis).

Frank Laurence Lucas, seorang penyair Inggris yang sangat piawai dalam bahasa Yunani, pernah berujar: “One learns to write by reading good books, as one learns to talk by hearing good talkers”. Seseorang belajar menulis dengan membaca buku-buku yang baik, seperti halnya dia belajar bicara dengan mendengarkan pembicara yang baik.

Kendati actus membaca tidak bisa dilimitasi hanya sebatas membaca buku tertulis saja, tetapi saya kira tidak bisa disangkal bahwa kegiatan membaca buku sangat berpengaruh pada penumbuhan dan pengembangan bakat menulis. Benar bahwa kita bisa saja membaca teks lain seperti pengalaman, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan pelbagai peristiwa alam. Namun, tingkat akurasi dan bobot pembacaan kita terhadap aneka kejadian empiris itu, sangat bergantung pada keseriusan kita dalam membaca teks mikro seperti buku atau beragam artikel tertulis.

Tentu, kita dituntut untuk tidak sekadar membuka dan membaca lembar demi lembar buku yang ada di tangan, tetapi berusaha untuk memahami dan meringkas ‘intisari atau poin-poin kunci yang diwartakan penulis dalam buku tersebut. Dengan itu, kita memiliki stok referensi atau minimal mempunyai gambaran ketika hendak menggumuli sebuah tema yang kebetulan senafas dengan buku yang kita baca tersebut. Dengan itu, kita tidak mengalami semacam ‘kebuntuan ide’ untuk memulai dan merampungkan sebuah tulisan.

Selain itu, dengan melimpahnya ‘khazanah pengetahuan’ yang disadap dalam buku bermutu, kita bisa secara kreatif mengonstruksi dan mengeksplorasi model penulisan yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan. Unsur stilistika dan retorika dalam menulis, tentu saja semakin memikat yang membuat tulisan kita enak dikonsumsi oleh pembaca. Ada semacam ‘kepuasan intelektual’ yang dirasakan oleh para pembaca ketika mengunyah ‘menu tulisan bergizi’ yang kita racik.

Harus diakui bahwa kebanyakan ‘tulisan yang diposting’ di pelbagai kanal media sosial seperti facebook, instagram, whatsApp dll, hemat saya masih belum enak dan nikmat untuk disantap. Kebanyakan tulisan itu bukan hasil olahan dari bahan dan bumbu yang bermutu. Tak memenuhi rasa dahaga dan lapar akan pengetahuan yang bernutrisi tinggi.

Memang, kita tidak mungkin mengharapkan ‘hadirnya tilikan bernas’ dengan standar ilmiah dan akademis yang tinggi, ketika membaca tulisan tersebut, tetapi setidaknya kita boleh mendapat insight baru setelah melahap aneka tulisan (postingan) yang hilir-mudik di ruang virtual tersebut.

Saya justru menangkap kesan bahwa sebagian besar postingan tertulis itu berasal dari ‘penulis bergizi buruk’ dalam arti tak mendapat asupan gagasan dari sumber bacaan yang kredibel dan otoritatif. Pelbagai tulisan (jika istilah ini masih cocok dipakai di sini) hanya sekadar ‘memenuhi  naluri’ untuk mengungkapkan sesuatu dalam bentuk tulisan di media sosial.

Saya menangkap kesan bahwa kehadiran teknologi internet-digital saat ini, tak berbanding lurus dengan meningkatnya minat baca kita. Stok informasi dan tulisan berkualitas yang tersebar dalam ruang virtual, tak ada artinya jika tidak dibaca secara serius. Tentu sebuah kemustahilan untuk mengharapkan ‘mengendapnya aneka pengetahuan yang begitu mudah diakses dalam internet’, dalam benak jika kita tak memilki tradisi membaca yang bagus.

Ketika membaca buku baik buku berbasis kertas maupun buku berbasis virtual-imajiner, belum mengakar dan menjadi kebutuhan primer, maka kita pasti kelimpahan penulis amatir yang menderita ‘gizi buruk’ di ruang virtual ini.

Karena itu, saya kira sebelum kita memutuskan untuk ‘menuliskan sesuatu’, ada baiknya kita memperbaiki minat baca buku. Mungkin dengan itu, kita bisa mengurangi tendensi untuk sekadar mendengung atau memproduksi bunyi yang nir-makna di ruang publik. Saya kira sumber kegaduhan dan kehebohan selama ini adalah semakin beraninya ‘para pendengung’ menggotong ambisi untuk mendominasi wacana di ruang publik.

                                             Isi tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker