Advertorial

2,5 Tahun Pandemi Tak Tersentuh Bantuan, Pedagang Acung Pantai Legian Harap Ada Perhatian Pemerintah

Badung, JaringPos | Memprihatinkan memang nasib ribuan pedagang acung dan asongan, saat disambangi awak media di kawasan Pantai Legian, Kuta, Badung, Sabtu sore (23/7/2022). Selain banyak tempat dagangan yang kelihatan sudah lusuh dan rusak akibat bertahun-tahun tidak beroperasi, juga selama hampir 2,5 tahun tidak pernah tersentuh bantuan. Dari miliaran, bahkan hampir ratusan triliun anggaran refocusing dana penanggulangan dampak Covid-19 pemerintah ternyata tidak pernah mereka nikmati. Usut punya usut, bantuan hanya BLT, dalam artinya “Bantuan Lewat Terus” tanpa adanya perhatian desa adat setempat, apalagi pemerintah daerah, baik Kabupaten Badung, Provinsi Bali, termasuk Pemerintah Pusat.

Dari penuturan para pedagang mereka selama ini yang menjaga Pantai Legian untuk bisa dinikmati para turis baik asing maupun domestik. Bahkan, setiap bulannya memberi setoran pembayaran kepada Desa Adat Legian. Namun, apa yang tidak disangka malah terkena dampak pandemi Covid-19 telah menghancurkan sendi utama ekonomi kehidupan mereka di Pantai Legian. Sayangnya hingga kini mereka malah tidak pernah dapat menikmati bantuan apapun, sehingga hanya bisa mengandalkan usaha sendiri. Bahkan, hanya untuk memperbaiki meja dan mengganti payung pantai yang jebol maupun rusak parah harus berani bermuka tebal untuk mencari pinjaman ke sana-sini.


Salah satu pedangan acung di Pantai Legian, Drs. I Wayan Suata mengakui kondisi memprihatinkan tersebut. Ia menuturkan dari pihak desa memang selama ini tidak pernah memberi dan menyiapkan bantuan apa-apa, termasuk bangunan untuk berjualan. Padahal ada ribuan pedagang acung dan pedagang asongan, termasuk UMKM yang berjualan di Pantai Legian selama bertahun-tahun telah rutin membayar retribusi ke pihak desa. Tapi semenjak pandemi Covid-19 tidak pernah merasakan dapat bantuan stimulus dari desa, apalagi dari bantuan pemerintah. “Kan warganya (Desa Adat Legian, red) saja yang dikasi, tapi pedagangnya tidak pernah, karena juga banyak orang luar yang berjualan di pantai,” beber mantan Guru Bahasa Inggris tersebut.

Wayan Suata yang juga Ketua Koperasi ASAP Bali itu, membenarkan pihak desa maupun pemerintah daerah tidak pernah memberikan bantuan selama pandemi Covid-19 yang telah berlangsung bertahun-tahun. “Kita (pedagang, red) bayar retribusi sebelum Covid berapa itu? Tapi sekarang bayangkan lebih dari dua tahun gak buka, tapi pemerintah apa yang dibantu? Ini ribuan pedagang lho! Saya dapat data seribu lebih pedagang. Itu yang kami sesalkan, adakah bantuan baik pemerintah maupun pengelola pantai. Karena berjualan di pantai tidak pernah gratis, tapi bayar. Apakah kami bisa dibantu kredit lunak untuk beli paying atau kursi yang rusak?,” sentilnya.

Suata menuturkan setiap bulan ribuan pedagang wajib membayar retribusi berkisar dari Rp175 ribu sampai 250 ribu per bulan tergantung jenis barang yang dijual. “Bayangkan berapa pendapatan per tahun sebelum Covid? Mereka sekarang peduli gak? Dan pemerintah juga tidak peduli,” beber Suatu, seraya berharap pariwisata Bali yang sudah mulai ada kemajuan, meskipun belum 100 persen agar para pedagang dibantu untuk mendapat kredit karena tempat dagangan sudah rusak, dan selama 2 tahun hancur total. “Ini saya semua pinjam uang untuk membeli baru alat-alat jualan buat kursi, meja dan payung. Untungnya saya ada teman yang pinjaman uang. Tapi kalau yang lain masih keblat-keblit, apalagi selama Covid tidak dapat bantuan apa-apa,” tutupnya. ama/ksm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker