
Jakarta, JaringPos | Polemik rencana menamai jalanan di Jakarta jadi Jalan Mustafa Kemal Ataturk belum menemui solusi. Seiring kontroversi rencana ini, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyoroti sejumlah rencana penggantian nama jalanan di Jakarta, bukan semata soal Ataturk.
Untuk diketahui, rencana penamaan Jalan Ataturk di Jakarta berawal dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno, proklamator dan Presiden RI. Permintaan itu dikabulkan pemerintah Turki.
Sebagai balasannya, pemerintah Turki juga meminta hal yang sama agar ada jalan namanya Kemal Ataturk, tidak jauh-jauh dari Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Dalam keterangannya, Kamis (21/10/2021).
Yusril menyebut Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Ataturk adalah tokoh kontroversial bukan hanya di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri muslim yang lain. Kemal adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya.
Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam dia bubarkan. Kemal ‘memisahkan’ antara agama (Islam) dan negara.
Ketika Kemal mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan.
“Turki yang mulai lemah, baik dari segi militer maupun ekonomi dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya. Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana supermewah Tokhapi di Istambul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu,” kata Yusril.
Yusril menyebut kehidupan Sultan dan bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno menjelang Indonesia merdeka.
Yusril mengatakan, dalam suasana seperti itu, tidak perlu lagi adanya pemisahan antara Islam dan negara, sebab dalam kenyataannya Islam memang sudah ‘terpisah’ dengan negara seperti ditunjukkan oleh perilaku pengusaha kekhalifahan Turki itu.
Implikasi politik dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita. Kelompok ‘Nasionalis Sekuler’ merasa senang dengan kehadiran Ataturk.
“Sebaliknya, para tokoh ‘Nasionalis Islam’ berada dalam kecemasan. Tahun-tahun 1920-an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan ‘agama’ dengan ‘negara’,” ujar Yusril.
Polemik antara Sukarno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatarbelakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki.
“Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan ‘de filosofische grondslag’ (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern,” katanya.
Jika sekarang ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat Indonesia terhadap Kemal Attaturk, Yusril menganggapnya wajar.
Sebab, menurut dia, ketegangan pemikiran antara Islam dan sekularisme dengan berbagai variannya, dari yang moderat dan menerima Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali ‘negara khilafah’ hingga kini tetap berlangsung walau intensitasnya tidak sekeras menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967.
Kembali ke permasalahan rencana penamaan Jalan Ataturk, Yusril menilai karena pemerintah yang lebih dulu meminta pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang ‘berbau’ Belanda dengan nama Jalan Sukarno, wajar saja jika secara resiprokal Turki meminta hal yang sama.
Orang Turki, katanya, nampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno. Tetapi di negeri kita, nama Jalan Ataturk yang diminta pemerintah Turki itu membuat pusing banyak orang.
“Bahkan kini berkembang banyak rumor pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan komunis: Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh komunis yang pernah ada di dunia ini,” ujarnya.
Yusril kemudian mengungkit usulan lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin oleh DPRD DKI ke Gubernur yang belum juga dilaksanakan. Usul tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) agar Jalan Kramat Raya diganti namanya dengan Jalan Mohammad Natsir, lanjut Yusril, sampai sekarang nampaknya belum digubris pemerintah.
Yusril menyebut urusan nama jalan merupakan urusan pemerintah daerah. Dia kemudian menyinggung Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang harusnya tidak menunggu lama mewujudkan usulan pergantian nama Jalan Kebon Sirih menjadi Jalan Ali Sadikin dan jalan-jalan lainnya.
Di negara kita, urusan nama jalan adalah urusan pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya dapat mengusulkan kepada pemda untuk memberi nama atau mengubah nama jalan yang sudah ada.
Gubernur Anies Baswedan yang mendapat dukungan umat Islam melawan Ahok dan AHY dalam Pilkada DKI mestinya tidak ada keberatan apa pun dan tidak berlama-lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin.
“Jalan Kramat Raya dengan Jalan Mohammad Natsir. Jalan Matraman Raya dengan Jalan Kasman Singodimedjo. Jalan Warung Buncit dengan Jalan AH Nasution,” ujarnya.
Dari pengalaman permintaan resiprokal pemerintah Turki, kata Yusril, entah apakah itu pemerintahan Presiden Edrogan-yang sepanjang pemahamannya lebih cenderung ke Islam yang beda dengan sekularisme Ataturk-ataukah hanya permintaan Kedubes Turki di Jakarta, dia tidak tahu.
Ke depan, Yusril menyarankan agar Indonesia tidak lagi meminta negara lain memberi nama jalan dengan tokoh-tokoh bangsa Sebab, jika mereka juga meminta hal serupa di Jakarta, pemerintah bisa pusing sendiri.
Di masa lalu, kita pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain.
“Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba, misalnya, yang terletak antara Jalan Gunung Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik Congo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh komunis,” jelasnya.
Di zaman Orba yang antikomunis, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai sekarang. Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah sejak 1984 pindah ke Cengkareng.
“Kita tidak merasa berat menggantinya karena nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan pemerintah Congo,” katanya.
Dilema Nama Jalan
Yusril mengira memberi nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan dilema. Seseorang menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat, disukai atau dibenci, sangat tergantung kepada situasi politik pada suatu zaman.
“Andai ada nama Jalan DN Aidit pada zaman Orde Lama, hampir dapat dipastikan nama jalan itu akan diganti di zaman Orde Baru,” katanya.
“Mohammad Natsir adalah ‘pemberontak PRRI’ di zaman Orla dan Orba. Di zaman Orref (Orde Reformasi), beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Persepsi masyarakat selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Begitulah sejarah manusia…,” ujar Yusril. (*slm/JaringPos)