
Jakarta, JaringPos | Desakan agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuka transparansi penyelenggaraan ajang balap Formula E 2022 kian ramai.
Permintaan transparansi penyelenggaraan Formula E tidak hanya datang dari kalangan politikus, tetapi juga ada komedian Kiky Saputri yang ikut mempertanyakan secara langsung kepada Anies terkait transparansi penyelenggaraan Jakarta E-Prix 2022 itu.
“Pak Anies, Formula E apa kabar?” kata Kiky dalam acara komedi “Lapor Pak” Selasa (9/11/2021).
Kalangan mahasiswa juga turun ambil bagian, Kamis (11/11/2021) kemarin, massa yang mengatasnamakan BEM dan Cipayung (Himpunan Mahasiswa Islam) menggeruduk kantor Anies.
Ada empat tuntutan yang disampaikan oleh koordinator lapangan aksi bernama Arjuna, pertama “Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk membuka informasi yang sebenar-benarnya terkait berapa anggaran dari APBD yang telah digelontorkan selama persiapan penyelenggaraan Formula E,” kata Arjuna di depan Balai Kota DKI Jakarta.
Tuntutan kedua, massa aksi mendesak Anies dan PT Jakarta Propertindo untuk mempertanggungjawabkan dana senilai Rp 560 miliar untuk ditarik dari penyelenggara Formula E.
Ketiga, KPK diminta untuk segera melakukan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana Formula E sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
“Terakhir, KPK agar transparan dalam pengusutan penyalahgunaan dana Formula E,” kata Arjuna.
Minta lembaran transfer commitment fee dibuka
Desakan membuka dokumen penyelenggaraan Formula juga datang dari Parlemen Kebon Sirih (DPRD DKI Jakarta). Wakil Ketua Komisi E Anggara Wicitra, misalnya, yang meminta Anies berani membuka bukti transfer commitment fee.
“Semoga pak Anies berani membuka satu lembar bukti transfer uang commitment fee Rp 560 miliar. Cukup satu lembar itu saja,” kata Anggara, Rabu (10/11/2021).
Anies disebut tak perlu mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyerahkan 600 halaman dokumen penyelenggaraan Formula E.
Karena menurut Anggara, bentuk transparansi bisa dilakukan di lembaga legislatif.
Namun hingga saat ini, DKI Jakarta enggan menyerahkan dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan Formula E kepada para anggota Dewan.
Bukan transparansi tapi keterpaksaan
Kritik transparansi Formula E juga datang dari anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak.
Menurut dia, langkah Pemprov DKI untuk menyerahkan dokumen penyelenggaraan Formula E bukan sebuah transparansi melainkan sebuah keterpaksaan.
“Bukan transparansi tapi keterpaksaan saya kira. Karena transparansi seharusnya waktu kami (DPRD) minta MoU yang baru (harusnya) diberikan. Kami minta kwitansi pembayaran (penyelenggaraan Formula E) harusnya diberikan juga,” tutur Gilbert.
Gilbert mengatakan, DPRD DKI Jakarta berkali-kali meminta agar dokumen terkait penyelenggaraan Formula E diberikan.
Namun Pemprov DKI Jakarta tidak pernah memberikan dokumen tersebut dan hal tersebut dinilai menyalahi aturan transparansi anggaran.
“DPRD sudah berkali-kali minta tidak dikasi, dan itu sebenarnya menyalahi aturan karena itu kan uang rakyat,” tutur dia.
Gilbert berharap KPK bisa bertindak proporsional menindak tegas apabila ditemukan pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan Formula E.
“Saya kira KPK harus bertindak proporsional dalam arti jangan hanya pelaksana yang ditanya, tapi juga pengambil kebijakan,” tutur dia.
Interpelasi terus berlanjut
Untuk mendesak transparansi penyelenggaraan Formula E, pengajuan hak interpelasi dari 33 anggota Dewan akan tetap digelar.
Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Gembong Warsono mengatakan, pembahasan interpelasi saat ini masih menunggu pembahasan untuk penetapan jadwal rapat paripurna dalam badan musyawarah (Bamus).
“Kita teman-teman inisiator interpelasi akan mendorong pimpinan dewan untuk menjadwalkan kembali (rapat paripurna interpelasi) untuk lanjutkan yang tertunda,” kata Gembong, Rabu.
Namun, dia memastikan bahwa interpelasi pasti akan dilanjutkan karena memang usulan interpelasi harus ditutup dengan rapat paripurna.
Apakah interpelasi akan dilanjutkan atau terhenti, Gembong menyebut keputusan harus diselesaikan di rapat paripurna.
“Mengakhiri interpelasi (itu harus) di rapat paripurna, bukan di warung kopi,” ucap Gembong.
Rapat paripurna terkait interpelasi sempat digelar 28 September 2021. Saat itu rapat tidak bisa dilanjutkan karena tidak mencapai kuorum 50 persen plus satu anggota Dewan yang hadir.
Dalam rapat paripurna interpelasi tersebut hanya dihadiri oleh 33 anggota Dewan yang mengajukan hak interpelasi. Sisanya 73 anggota Dewan dari penolak interpelasi memilih tidak hadir dalam rapat tersebut.
Rapat yang diajukan untuk memperjelas program Formula E itu akhirnya harus ditunda dan hingga saat ini penjadwalan ulang rapat paripurna masih belum dibahas. (*slm)